Penulis : Fatimah Nuraini
Editor Cover & Teks : Ade Irma Hamdani
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh dan Salam Sejahtera bagi kita semua. Halo kawan-kawan HIMASIS!
Halo sobat pembaca HIMASIS ARTIKEL! Kali ini HIMASIS ARTIKEL kembali hadir dengan topik yang tentunya sangat menarik untuk kita bahas bersama. Dalam era digital yang semakin maju, inovasi teknologi terus berkembang pesat, termasuk di dunia otomotif. Pada artikel yang mau kita bahas disini adalah keadaan jalanan di Indonesia yang mempengaruhi ketidakefektifan penggunaan mobil otonom.
Kemacetan, klakson bersahut-sahutan, dan perilaku pengendara yang tak terduga sudah menjadi pemandangan sehari-hari di jalanan Indonesia. Di tengah dinamika itu, dunia otomotif global justru melangkah menuju era baru, era di mana mobil bisa mengemudi sendiri tanpa campur tangan manusia. Namun muncul pertanyaan besar: apakah kecerdasan buatan mampu bertahan di jalanan yang bahkan sering kali membingungkan manusia itu sendiri?
Dunia otomotif sedang bergerak cepat menuju era autonomous driving. Teknologi ini memungkinkan mobil untuk mengemudi sendiri tanpa kendali langsung manusia, berkat perpaduan sensor LIDAR (Light Detection and Ranging), kamera 360 derajat, radar, GPS presisi tinggi, dan algoritma kecerdasan buatan (AI) yang terus belajar dari data. Sistem ini membentuk persepsi lingkungan sehingga mobil bisa mendeteksi objek, membaca marka jalan, mengenali rambu, serta mengambil keputusan secara real-time.
Mobil seperti Tesla Model Y Autopilot, Waymo One, dan Mercedes-Benz EQS Drive Pilot sudah mampu mencapai autonomous level 3, artinya mobil bisa mengambil alih kemudi di kondisi tertentu tanpa intervensi pengemudi. Di negara dengan lalu lintas tertib dan infrastruktur digital yang baik, seperti Jepang, Jerman, atau Singapura, pengujian mobil otonom bahkan sudah dilakukan di jalan umum dengan hasil menjanjikan. Namun di balik kemajuan itu, muncul pertanyaan penting, apakah teknologi seperti ini bisa benar-benar berjalan di jalanan Indonesia?
Untuk saat ini, jawabannya masih belum bisa. Bukan karena teknologinya kurang canggih, tapi karena kondisi di lapangan belum mendukung. Sistem self-driving dirancang untuk bekerja di lingkungan yang teratur, terprediksi, dan terdata dengan baik. Sementara itu, jalanan Indonesia justru terkenal dengan “kejutan” di setiap tikungan. Mulai dari motor yang melawan arus, mobil berhenti mendadak di tengah jalur, pejalan kaki menyeberang sembarangan, hingga pedagang kaki lima yang tiba-tiba muncul di bahu jalan. AI secanggih apa pun akan kesulitan membaca perilaku yang bahkan manusia sendiri kadang tidak bisa prediksi.
Belum lagi dari sisi infrastruktur Fisik dan digital. Sensor kamera dan LIDAR membutuhkan marka jalan yang jelas, rambu yang mudah dibaca, serta peta digital presisi tinggi. Faktanya, banyak jalan di Indonesia yang marka jalannya sudah pudar, rambu tertutup pohon, bahkan sinyal GPS sering tidak stabil. Kondisi permukaan jalan yang tidak rata, genangan air, dan lubang yang tiba-tiba muncul bisa membuat sensor salah mendeteksi objek. Dalam kondisi seperti ini, sistem otomatis akan lebih sering “bingung” daripada bergerak mulus.
Selain aspek teknis, regulasi juga jadi hambatan besar. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap kendaraan wajib dikendalikan oleh pengemudi manusia yang memiliki SIM. Artinya, mobil otonom belum punya dasar hukum untuk beroperasi di jalan umum. Tanpa revisi undang-undang dan standar keselamatan baru, kendaraan otonom di Indonesia hanya bisa berstatus “uji coba tertutup”.
Secara konsep, mobil self-driving menjanjikan efisiensi bahan bakar, keamanan tinggi, dan pengurangan kemacetan karena sistemnya mampu berkoordinasi dengan kendaraan lain melalui jaringan komunikasi V2V (vehicle-to-vehicle). Tapi semua itu butuh fondasi yang kuat, infrastruktur, regulasi, dan disiplin pengguna jalan.
Teknologi ini memang masa depan otomotif dunia, tapi Indonesia masih perlu waktu panjang untuk mencapainya. Karena di sini, bahkan manusia yang pegang setir pun masih sering bingung menghadapi kondisi jalan. Bagaimana dengan mobil yang tak punya emosi dan hanya mengandalkan algoritma?
Jadi, Mobil otonom memang menjadi simbol kemajuan teknologi, tapi jalanan Indonesia masih menjadi ujian nyata bagi nalar manusia, apalagi bagi mesin. Sebelum mobil bisa benar-benar “berpikir” untuk kita, mungkin manusialah yang harus terlebih dahulu belajar tertib, disiplin, dan siap menyambut masa depan. Karena pada akhirnya, bukan mobil yang harus menyesuaikan diri dengan kita, tetapi kita yang harus menyiapkan diri untuk masa depan mobilitas itu sendiri.
Sekian pembahasan artikel ini. Dengan segala kelebihannya, teknologi ini diharapkan mampu menghadirkan transportasi yang lebih aman, efisien, dan inklusif. Namun, tantangan yang dihadapi juga memerlukan perhatian serius agar manfaatnya dapat dirasakan secara optimal tanpa mengorbankan aspek keamanan, sosial, maupun ekonomi.
Semoga artikel ini dapat menambah wawasan dan inspirasi bagi para pembaca setia HIMASIS ARTIKEL. Mari terus berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik!
Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan tetap semangat mengejar ilmu! Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
#SALAMPERUBAHAN
#BERSATUDALAMKOLABORASI